Tangga-Tangga Taqwa
Firman Allah Swt:
"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Terjemah yang sebenarnya adalah:
"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kalian
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang lebih mulia di antara kalian disisi Allah ialah orang yang lebih taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Mengetahui lagi Mengenal". (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Amal kebajikan yang merupakan nilai-nilai ketaqwaan
itu tiada batas. Kata 'Mengetahui' di akhir ayat ini bukan sekedar mengetahui saja, tapi dengan pengetahuan yang dalam menurut
Ilmu Allah Swt, bukan ilmu manusia.
Allah menciptakan manusia dan menjadikannya berbangsa
dan bersuku melalui proses waktu yang cukup panjang. Melalui 2 pasang insan (Adam dan Hawa) yang dibuat dari tanah, lahirlah
pasangan-pasangan generasi berikutnya yang memiliki hubungan satu dengan lainnya. Dalam hal proses pembentukan bangsa atau
suku, Allah Swt tidak sendiri dalam menjalankan proses tersebut. Dengan kata lain dalam menjalankan kebijakan kepemimpinan-Nya,
Allah memberikan peran kepada ciptaan yang dipilih-Nya. Kata 'Kami menciptakan' dalam ayat di atas menunjukkan hal tersebut.
Dalam firman-Nya yang lain: "Inni jaa-'ilun fil
Ardhi kholiifah" (Sesungguhnya Aku menjadikan seorang kholifah [yakni Adam] di muka bumi). Saat itu Allah berkehendak sendiri
dalam penciptaan Adam. Namun dalam proses pembentukannya, Allah melibatkan unsur ciptaan-Nya yang lain, seperti malaikat,
cahaya, tanah, dan lainnya.
Dari perbandingan dua ayat di atas kata 'Kholaqo'
(خلق) berbeda dengan 'Ja'ala
(جعل). Jika 'Kholaqo' (خلق) mengandung arti menciptakan, maka
'Ja'ala (جعل) berarti menjadikan.
'Menjadikan' adalah penciptaan yang membutuhkan proses.
Selanjutnya di balik beraneka ragam suku dan bangsa,
Allah akan melihat siapakah di antara umat manusia yang lebih bertaqwa kepada-Nya. Pernik polemik kehidupan menempa jiwa manusia
dari waktu ke waktu. Kesemuanya dibangun oleh Allah Swt dengan menjadikannya sebagai permainan. Melalui permainan tersebut
manusia dituntut untuk berjuang, yang hasilnya akan muncul nilai-nilai positif dan negatif. Dari kedua nilai ini melahirkan
pembentukan moral yang berpengaruh dalam perjalanan kehidupan manusia itu sendiri. Sikap moral (akhlak) itu ada yang mengaitkannya
dengan hal-hal yang ghaib dan ada pula yang meniadakannya.
Tangga-tangga Menuju Taqwa:
Polemik sebagai Tempaan Kehidupan – Kehidupan
Dunia sebagai Permainan – Adanya Perjuangan – Hasilnya Positif & Negatif – Pembentukan Moral –
Iman atau Ingkar – Taqwa
Orang yang meniadakan unsur lain (yakni keghaiban)
didasari oleh sikap keegoan yang ada pada dirinya. Dengan bersikap seperti itu ia akan bersikap sombong dan merasa lebih baik
dari pada yang lain. Kebanyakan orang yang menutup diri itu adalah orang yang tipis sekali sentuhan batinnya dengan hal-hal
yang ghaib. Apa yang dilakukannya adalah aku. Orang yang seperti ini tidak mengenal dirinya.
Orang yang memiliki sentuhan batin memiliki pengalaman
atau peristiwa kehidupan yang menyebabkan dirinya merasa lemah atau tidak berdaya. Ketika ia melakukan sesuatu yang ia inginkan,
ia tidakmampu meraihnya. Dan setelah itu ia coba berulang-ulang hingga merasakan keputusasaan. Lalu ia merasakan adanya kelemahan
di dalam dirinya. Namun ketika ia berada dalam ketidakberdayaannya itu muncullah 'suatu jalan' yang tidak ia rencanakan. Maka
dengan kejadian tersebut ia merasakan adanya 'unsur lain' yang ikut serta dalam kehidupannya. Dengan kata lain, selain dirinya
secara fisik ada keberadaan kekuatan batin (ruhani) yang ada pada dirinya. Jenis orang semacam ini akan tumbuh pada dirinya
keyakinan adanya kekuatan lain (non-fisik) selain keberadaan fisik.
Kekuatan non fisik pada setiap individu itu berbeda-beda
sesuai dengan kemampuan memantapkan kaidah ketuhanan (aqidah) yang ada pada dirinya. Dengan adanya perbedaan itu, masing-masing
dari mereka itu melakukan ijtihad (usaha) 'pencarian' dengan caranya masing-masing. Pencarian tersebut adalah seperti apa
yang pernah dialami oleh para Nabi terdahulu, dan para Shufi.
Upaya ini dilandasi atas kedhaifan diri mereka dalam
mengarungi kehidupan yang penuh tantangan ini. Apa yang dialami oleh mereka di antaranya merasakan kebuntuan menghadapi berbagai
masalah kehidupan. Maka pada saat ia merasakan suatu nikmat yang muncul di luar kehendak dirinya, ia pun merasakan getaran
(sinyal) ruhani yang menjadikan wasilah pencariannya itu. Dan dikejarlah 'sinyal' tersebut melalui upaya-upayanya, lalu ia
bentuk sedemikian rupa menjadi suatu metode untuk menghadirkan 'sinyal' ruhani tersebut.
Tingkatan orang-orang yang mengejar 'sinyal' ruhani
ini berbeda-beda, ada yang rendah dan ada yang tinggi. Ada yang memiliki kecenderungan hanya untuk dekat dengan unsur ruhaniyahnya
saja, sehingga ia berusaha mengikuti apa yang dinginkan unsur ruhaniyah tersebut. Ada yang berusaha dekat dengan unsur ruhaniyah
itu untuk memenuhi apa yang ia inginkan. Hingga ada yang mencapai target pencapaian dengan apa yang dicarinya itu, yakni Ruh
Ilahiyyah, Sembahan yang sesungguhnya. Inilah apa yang diupayakan oleh para Nabi dan Ahli-ahli Shufi.
Semangat Pengabdian
Motivasi manusia dekat dengan yang ghaib itu berbeda-beda.
Di antaranya ada yang betul-betul mencari kenikmatan dunia, karena ada kepentingan dirinya dibalik sinyal ruhani yang dicarinya
itu. Oleh karenanya pada saat kita memiliki niat, rencana atau keinginan maka kita harus masuk dengan masuk yang benar. Innamal
A'maalu binniyyaat, Sesungguhnya amal itu (lahir maupun batin) bergantung kepada niatnya.
Begitulah, ketika kita memasuki ajaran Dienul Islam
mesti diselaraskan dulu niatnya. Jangan kita melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul dengan maksud terpenuhi apa yang menjadi
kepentingan kita. Sikap yang benar adalah Aslamnaa, yakni berserah diri kepada Allah, Rasul dan Guru. Sebagai contoh adalah
niat orang yang ingin diangkat menjadi pegawai negeri atau pemerintahan. Ada yang masuk didasari sikap pengabdian kepada negara,
dan ada yang masuk hanya untuk 'numpang hidup'. Orang yang berniat mengabdi akan memiliki dedikasi atau tanggung jawab terhadap
tugas yang dijalankannya. Dengan motivasi yang tinggi kinerjanya akan menghasilkan suatu manfaat yang besar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain, ada yang berfikir bahwa dengan apa
yang dicapainya (menjadi pegawai negeri), ia merasa telah memiliki sumber penghidupan. Ia tidak mengawali niatnya untuk menjadi
pegawai untuk mengabdi. Orang yang seperti ini walaupun memiliki standar akademis yang layak untuk diterima, tanggung jawab
dalam menjalankan tugasnya lemah. Semangat pengabdiannya terhadap negara tidak ada. Kalau bekerja hitung-hitungan, berdasarkan
prinsip jual beli. Kalau sudah dekat waktunya pulang, ia menyegerakan diri mempersiapkannya dan tidak memikirkan apa yang
menjadi tuntutan tugas yang diembankan sebagai abdi negara.
Begitu pula terjadi pada perusahaan swasta. Seorang
pegawai yang tidak memiliki semangat pengabdian, kinerjanya sebatas apa yang tertuang dalam kesepakatan perjanjiannya sebagai
pegawai.Ia tidak punya rasa memiliki, sehingga ia bekerja bukan berniat untuk menguntungkan perusahaan tapi untuk menguntungkan
dirinya sendiri. Jika ada pekerjaan yang menguntungkan dirinya maka ia giat melaksanakannya, tapi jika tidak ia bermalas-malasan.
Hingga perusahaannya pailit atau negeri ini sedang terpuruk, ia tidak berpikir yang positif untuk kepentingan perusahaan atau
bangsa ini. Secara garis besar pegawai yang memiliki kecenderungan pribadi yang melebihi kepentingan perusahaan ini tidak
menguntungkan bagi perusahaan di mana dia bekerja.
Hadirin Hadirat,
Demikianlah jika kita ingin memasuki Dienul Islam
sebagai suatu kepemimpinan yang dibangun oleh Allah SWT, kita mesti memperhatikan apa niat / tujuan kita masuk ke dalamnya.
Ada yang masuk ke dalam Islam dengan harapan bisa dikembalikan kesejahteraan hidupnya seperti sebelumnya. Sehingga keluarlah
do'a dari bibirnya, 'Ya Allah, Rasul dan Guru, tolonglah hidup saya menjadi kaya yang bersyukur dan diridhai Allah!' Jadi,
ia datang kepada Allah dalam keadaan tidak berserah diri kepada-Nya, tapi justru Allah, Rasul dan Guru diajak untuk 'Berserah
Diri' kepada keinginan dirinya. Orang yang semacam ini tidak bisa diajak berjuang untuk Fisabilillah. Apabila ia diajak untuk
berjuang, ia bersikap mundur teratur. Kalau ia dipanggil, ia membawa alasan yang begitu banyak. Semangat pengabdian yang lemah
ini disebabkan oleh pondasi niat awal ia masuk sudah terbujuk rayu tuntutan syahwat keluarga (anak-istri)nya.
Keadaan semacam ini akan menjadi pola kepribadian
seseorang di mana pun ia melakukan transaksi kerja, apakah instansi pemerintah atau swasta, bahkan Kebijakan Ilahiyyah (Dienul
Islam). Ia akan selalu dipengaruhi tuntutan syahwat yang memimpin apa yang dilakukannya. Ujian suka-duka yang dihadapinya
diukur berdasarkan barometer syahwatnya, bukan akal pikirannya yang disifati oleh Sifat Ketuhanan. Padahal Sifat Ketuhanan
pada diri manusia diciptakan fitrah oleh Allah Al-Khaliq.
Firman Allah SWT:
فَإِذَا سَوَّيْتُه وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ
رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَه سٰجِدِيْنَ
Faidzaa sawwaytuhuu wanafakhtu fiihi mir ruuhii
faqo'uu lahuu saajidiin
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya,
dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Q.S. Al-Hijr: 29, As-Shad:
72)
Manusia terbangun oleh unsur jasmani dan ruhani.
Unsur jasmani terbangun melalui nafsu syahwat. Ia akan punah jika tidak diberi makan, sebab jasmani membutuhkan energi dalampertumbuhannya.
Melalui dorongan syahwat inilah manusia dapat melakukan sesuatu yang diinginkannya.
Oleh karenanya jika masuk ke dalam suatu perusahaan
atau tempat di mana ia bertugas hendaknya masuk dengan cara yang benar, yakni berserah diri. Itulah gambaran orang-orang yang
lebih dimuliakan atau bertaqwa. Seseorang yang bertaqwa itu memiliki kelebihan dalam penghambaan dirinya.
Firman Allah SWT:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ أٰمَنَّاقلى قُلْ
لَمْ تُؤْمِنُوا وَلٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْقلى وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ
أَعْمَالِكُمْ شَيْئًاقلى إِنَّ
اللَّهَ
غَفُورٌ
رَحِيْمٌ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ أٰٰمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِه ثُمَّ
لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِيْ
سَبِيْلِ اللهِقلى أُولئِكَ هُمُ
الصَّادِقُوْنَ.{الحجرات: ۱۵ -۱٤}
Qoolatil a'roobu aamannaa qul lam tu'minuu walaakin
quuluu aslamnaa walammaa yadkhulil iimaanu fii quluubikum wa-in tuthii'ullooha warosuulahuu laa yalitkum min a'maalikum syay-aa,
innallooha ghofuurur rohiim.
Innamal mu'minuunal ladziina aamanuu billaahi warosuulihii
tsumma lam yartaabuu wajaahiduu bi amwaalihim wa anfusihim fii sabiilillaah, ulaaa-ika humush-shoodiquun.
Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami telah
beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk
ke dalam hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya
Allah Pengampun lagi Penyayang".
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa raga mereka
di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (dalam keimanannya terhadap ayat-ayat Allah)". (Q.S. Al Hujurat: 14-15)
Orang yang berserah diri adalah mengikuti terus
apa yang diperintahkan sampai datang suatu pencapaian keimanan yang kokoh.
Kita masih dhaif (lemah) menyikapi perintah dan
ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang telah diisyaratkan atau dianjurkan. Dan meskipun kita banyak mengetahuinya ternyata kita
hanya melaksanakan apa yang kita mau kerjakan saja. Tapi jika kita sudah sampai pada kapasitas Mujahadah (bersungguh-sungguh)
hingga batas maksimal fisik dan ruhani (full) namun belum membuahkan hasil yang kita inginkan yakni mencapai apa yang dikehendaki
oleh Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kecewa. Misalnya kita mengalami kelelahan atau kehabisan modal. Karena Allah bersifat
Pengampun dan Penyayang. Sekarang, mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing, sudahkah kita mencapai tingkat maksimal
dalam perjuangan kita selama ini?
Firman Allah SWT:
اَّلذِيْنَ أمَنُوْا وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ
سَبِيْلِ اللهِ
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَاللهِِج وَأُولئِكَ هُمُ
الْفَآئِزُوْنَ {التوبة: ۲۰}
Alladziina aamanuu wahaajaruu wajaahaduu fii sabiilillaah
bi-amwaalihim wa-anfusihim a'zhomu darojatan 'indallaah, wa-ulaa-ika humul faa-izuun
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan. (At-Taubah: 20)
Yang pertama kita lakukan adalah hijrah, yakni dari
dosa menuju taubat. Dari taubat menuju 'amilush-sholih. Dari 'amilush-sholih kepada 'amilush-sholih yang lebih baik, dari
yang lebih baik kepada yang lebih baik lagi, terus ….. hingga batas yang membuat kita tak berdaya. Setiap diri memiliki
kemampuan berbeda-beda, seperti daya pikirnya. Mungkin ada orang yang sebelumnya tidak melaksanakan sholat sama sekali kemudian
ia baru melaksanakan ibadah sholat maghrib saja maka hal itu sudah menandakan 'hijrah', yakni melakukan suatu perubahan yang
lebih baik meskipun terlihat kecil. Kita tidak boleh mencemooh mereka, dan yang dicemooh juga jangan merasa sakit hati, karena
yang mengetahui persis hanya Allah dan dirinya sendiri. Selanjutnya ia ingin meningkatkan lagi dengan sholat lainnya, lalu
amalan yang lain, inilah yang dikatakan proses 'hijrah'. Kemudian hijrahnya itu mencapai tingkat maksimal untuk ukuran dirinya,
sebab evaluasi mujahadah dan kemampuan setiap orang itu berbeda-beda. Jadi, janganlah menjadi bahan perselisihan. Perbedaan
seperti inilah yang disebut sebagai 'rahmat'. Bukanlah perbedaan dalam menjalankan kefasikan, kesesatan atau kebatilan yang
disebut 'rahmat'.
Materi pelaksanaan fiisabilillah adalah Amilush-sholih.
Amilush-sholih adalah ketentuan-ketentuan yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya. Ia berkorban dengan hartanya sebagai tanda
semangat penyerahan dirinya. Aamanuu billaah, [بالله ورسوله] artinya dekat dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keimanannya ditumpahkan kepada Allah
dan Rasul-Nya. Maa anzalallaah, [ما
أنزل الله] artinya apa-apa yang diturunkan
oleh Allah, bukan kebijakan yang diturunkan oleh manusia. Tsumma lam yartaabuu, [ثم لم يرتابوا] artinya
kemudian ia tidak ragu-ragu lagi. Tidak banyak alasan-alasan ketika datang perintah kepadanya. Kata 'tsumma' [kemudian] menunjukkan
adanya proses menuju ketidakragu-raguan melalui hijrah yang terus menerus.
Semangat berjuang itu juga memiliki siasat, tapi
bukan bersiasat untuk menghindari perintah. Justru ia terus berusaha bagaimana bisa menjalankan perintah dengan baik. Sebagai
contoh, apabila seorang murid diberi kewajiban melaksanakan awrad, ia berusaha melaksanakannya meskipun ia bergelimang dengan
kesibukan. Ia akan berfikir keras bagaimana mewujudkan apa yang diperintahkan kepadanya tersebut. Maka ia siasati dengan cara
mengatur waktu atau mencicilnya. Demikian pula dengan apa yang dibijaki dalam Birokrasi Ilahiyyah, ia terus senantiasa berjuang
menjalankan apa yang diprogramkan oleh Murobbi-nya. Di dalam hatinya terus memenuhi apa yang diperintahkan, hal ini disebabkan
sudah tidak ada keragu-raguan dalam hatinya.
Orang yang senantiasa berjuang fii sabilillah tanpa
keraguan seperti itu adalah termasuk orang-orang yang Shidiq (lurus), cermat, kokoh, khusyu' keimanannya. Inilah kriteria
orang yang dimuliakan di sisi Allah.
Setiap orang memiliki kemampuan dan keilmuan yang
berbeda-beda. Kulluy ya'malu 'alaa syaakilatih [Setiap orang beramal sesuai dengan kapasitas keilmuan (kemampuannya)nya],
Q.S. Al-Isra: 84. Ada yang sudah mengaji tapi berbeda pula cara menangkap pemahaman dan penafsiran yang diberikan oleh gurunya.
Dan amal itu sendiri menentukan derajat seseorang. Likullin darojaatum mimmaa 'amiluu [Setiap derajat itu ditentukan oleh
apa yang diamalkannya], Q.S. Al-An'am:132,Q.S. Al-Ahqaf: 19. Syukurlah jika amal kita menyebabkan diri kita terbebas dari
siksa api neraka. Namun aka nada rasa penyesalan nanti karena semangat pengabdian kita lemah sewaktu di dunia. Karena di syurga
itu memiliki tingkatan-tingkatan. Syurga para Nabi, para Wali, Syuhada' dan sholihin itu berbeda-beda. Maka janganlah kita
menyesal di akhirat nanti karena tidak dapat mencapai syurga-syurga yang berada di atas kita.
Demikianlah hadirin hadirat. Dan janganlah kita
masuk ke dalam wilayah orang yang dimurkai, durhaka, orang-orang yang batil (mujrimun) yang akhirnya kedudukan kita sebagai
penghuni ahli neraka. Na'udzubillaah min dzaalik.
Jangan datang kepada Allah dengan keinginan agar
Allah, Rasul, Gurunya bisa memenuhi keinginan syahwatnya. Jika ia bersikap seperti itu, semangat perjuangannya lemah. Apabila
terpenuhi ia rajin, dan jika tidak ia menjadi malas. Hal ini banyak terjadi, pada awalnya semangat tapi akhirnya lama kelamaan
jarang datang. Ada juga yang mengaji karena rumahnya dekat, ia merasa malu kalau tidak datang. Sikap ini tanpa disadari membuat
pandangannya keliru karena sifat malunya bukan karena Allah, tapi karena dekat rumahnya dengan masjid. Ibadahnya bukan karena
perintah Allah tapi karena malu dengan orang lain.
Hal itu bisa terjadi nanti apabila ada suatu perjuangan
yang memberatkan dirinya atau tidak sesuai dengan semangat nafsu syahwatnya, maka ia menjadi lemah semangat pengabdiannya.
Apabila ia bekerja sebagai pegawai negeri bukan berniat untuk mengabdi kepada negara tapi ia berniat mencari nafkah. Jika
ia datang memasuki Dineul Islam, ia sekedar mencari barokah dunia, bukan barokah akhirat. Semangatnya lemah dan semu, penuh
dengan alasan dan ketakutan. Takutnya kepada orang lain bukan kepada Allah, takut dicela manusia bukan takut dicela Allah.
Betapa peliknyamemperhatikan gerak-gerik hati ini.
Adab Syari'at dalam Sholat
Pakaian juga menjadi bagian evaluasi syar'iyyah.
Allah berfirman: Fawaylul lil musholliin, [Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat]. Yakni orang-orang yang lalai dalam
sholatnya. Lalai hatinya dan juga lalai syari'atnya. Lalai sikap batinnya, juga lalai sikap lahirnya.
Banyak orang tidak mengira bahwa sholat itu seperti
apa yang mereka kerjakan selama ini, dari takbiratul ihram hingga salam … selesai sudah. Kebanyakan mereka mengatur
sikap lahir seperti cara ruku', duduk atau sujudnya. Padahal sikap dalam gerakan sholat itu ada yang tidak mampu mengerjakannya
secara sempurna. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-bedamenerapkannya.
Adab lahirinyyah dalam sholat itu bukan hanya cara
ruku' atau sujudnya saja, tapi menyangkut adab berpakaian. Banyak orang tidak mengevaluasi adab syari'at berpakaian ketika
sholat. Sebab pakaian itu diatur dalam ajaran Islam. Firman Allah SWT: "Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan
kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian untuk menjadi perhiasan, dan Pakaian Taqwa itu adalah sebaik-baiknya pakaian,
yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan kamu sekalian menjadi ingat". (Al A'raf:
26)
Pakaian taqwa itu mengikuti siapa? Tentu mengikuti
ketetapan Allah melalui figur Rasulullah Saw, kemudian para pewarisnya di setiap zaman. Bentuk pakaian yang dikenakan itu
tidak sebatas hanya menutup aurat saja. Wariisyaa, pakaian yang menjadi hiasan dalam ayat di atas menunjukkan bahwa perhiasan
atau model dalam berpakaian itu penting. Jika tidak, maka seseorang akan melaksanakan sholat dengan pakaian sebatas menutup
aurat saja, yakni dari pusat hingga lututnya. Kita pun akan mengatakan hal yang sama bahwa orang yang sholat yang berpakaian
seperti itu (bertelanjang dada) tidak sopan.
Dzaalika min aayaatillaah. Fenomena tata cara berpakaian
di antara manusia itu merupakan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah, bagi orang yang beriman dan yang tidak, bagi yang
berilmu dan yang tidak, bagi yang bertaqwa dan tidak taqwa. Maka akan tampak penampilan berpakaian manusia itu menurut pengetahuannya,
keinginan syahwatnya, dan menurut apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
La'allahum yadz-dzkkaruun. Jika kita melihat orang
mengenakan pakaian kimono, koteka, kebaya, baju bodo kita akan teringat kepada asal budaya pakaian tersebut. Tapi jika kita
mengenakan libasut taqwa akan mengingatkan kita kepada figur Rasulullah Saw.
Agama ini bukan dinamakan agama Iman atau Ihsan,
tapi Islam (Dienul Islam). Yakni bersifat syari'at. Jadi, sudah semestinya menjalankan dahulu adab lahiriyyahnya (syari'at).
Jas, dasi, batik syari'at siapa? Bukankah kita mengikuti apa yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya dalam melakukan adab syari'at?
Dan sabda Nabi Saw: 'Man tasyabbaha biqowmin fahuwa minhum' [Barang siapa yang menyerupai perilaku suatu kaum niscaya ia termasuk
di dalamnya]. Jika kita sholat dengan berbusana mengikuti orang-orang Yahudi dan Nasrani, berarti kita tidak mencontoh Nabi
Muhammad Saw. Inilah yang dinamakan lalai. Syari'atnya saja lalai, belum batinnya!
Apalagi sholat dengan niat ingin mendapatkan kelapangan
rizki, syahwat jasmaninya terpenuhi. Dengan kata lain, datang kepada Allah agar Allah turut kepada rencana dirinya. Bukan
didasari semangat penghambaan, penyerahan diri atau turut perintah kepada Allah. Akhirnya, syari'atnya batal dan batinnya
juga batal, karena mengikuti selain dari Allah dan Rasul-Nya.
Islam bersifat rahmat, sehingga kita pun yang sudah
terlatih dengan melaksanakan ibadah sholat 5 waktu tidak boleh mencemooh orang yang sedang belajar melaksanakan sholat, di
mana ia hanya melaksanakan sholat satu waktu saja. Demikian pula dengan ibadah lainnya. Karena tantangan dan
Di dalam sholat, saat duduk seluruh jari ditekuk
(agar menghadap ke kiblat). Hal ini dimaksudkan agar seluruh bagian tubuh kita dipusatkan (menghadap) kepada Allah. Namun
tidak semua orang bisa melakukan hal tersebut. Mungkin karena sakit kakinya, encok pinggangnya, faktor kegemukan, dsb. Jadi,
jika kita melihat seseorang yang tidak mampu melaksanakan seperti apa yang dianjurkan Rasulullah Saw kita berbaik sangka saja,
barang kali ia memiliki kesulitan melakukannya.
Seluruh anggota tubuh dalam sholat menghadap kepada
Allah. Udkhuluu fi silmi kaaffah [masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh] Lahir dan batin diserahkan seluruhnya kepada
Allah, tanpa keraguan. Inilah orang-orang yang kokoh imannya, khusyu', shidiq.
Marilah kita wujudkan semangat penghambaan kita
kepada Allah meskipun bersedekah dengan uang seribu rupiah, atau berkurban hanya dengan seekor ayam. Tampakkanlah semangat
kepedulian kita, agar tidak menjadi orang yang ragu.
Semoga kita dijadikan orang-orang yang kaaffah,
khusyu', sidhiq Iman Islamnya, serta dihindari sifat keraguan.